Rabu, 06 Oktober 2010

ASBABUN NUZUL

BAB I
PENDAHULUAN

          Al-Qur’an bukanlah sebuah buku dalam pengertian umum, kerena ia tidak pernah diformulasikan tetapi diwahyukan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhamad SAW. melalui malaikat Jibril untuk dijadikan pedoman hidup bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat serta diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi atau peristiwa yang tejadi pada saat itu.
          Sebahagian tugas untuk memahami pesan Al-Qur’an sebagai suatu kesatuan adalah mempelajarinya dalam konteks latar belakangnya. Latar belakang yang paling dekat adalah kegiatan dan perjuangan nabi yang berlangsung selama dua puluh tiga tahun dibawah naungan Al-Qur’anul Karim. Untuk lebih mengetahui perjuangan nabi kita juga harus memahami lingkungan pergaulan pada awal
          Masa penyebaran Islam, oleh karena itu kita harus mengetahui bagaimana adat istiadat, lembaga-lembaga serta pandangan hidup bangsa arab pada umumnya.
          Dengan memahami masalah ini, kita akan dapat menangkap pesan-pesan Al-Qur’an secara utuh dan dalam berbagai konteks historisnya bukan hanya memahami bahasanya saja. Oleh karena itu hampir semua literatur yang berkenaan dengan Al-Qur’an menekankan pentingnya Mempelajari Alquran. 

BAB II
PEMBAHASAN


A. ULUMUL QURÁN
1. Pengertian Ulumul Quran
          Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnaya. Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.
          Sedangkan menurut terminologi terdapat berbagai definisi yang dimaksud dengan ulumul Qur’an diantara lain :
• Assuyuthi dalam kitab itmamu al-Dirayah mengatakan :
          “Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunya, sanadnya, adabnya makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.
• Al-Zarqany memberikan definisi sebagai berikut:
          “Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim dari segi turunya, urutanya, pengumpulanya, penulisanya, bacaanya, penafsiranya, kemu’jizatanya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, dan sebagainya”.
          Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ulumul qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas al-Qur’an.
2. Ruang Lingkup Pembahasan Al-Qur’an
          Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab al-Qur’an. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab Al- Itqan, Assyuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu al_Araby yang mengatakan bahwa ulumul qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung. Firman Allah :
          Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).(Q.S. Al-Kahfi 109)

C. Pokok Pembahasan
          Secara garis besar Ilmu alQur’an terbagi dua pokok bahasan yaitu :
1. Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
2. Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadz yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
         Namun, Ash-Shidiqie memandang segala macam pembahasan ulumul Qur’an itu kembali kepada beberapa pokok pembahasan saja seperti :
v Nuzul. Permbahasan ini menyangkut dengan ayat-ayat yang menunjukan tempat dan waktu turunya ayat Al-Qur’an misalnya : makkiyah, madaniyah, hadhariah, safariyah, nahariyah, lailiyah, syita’iyah, shaifiyah, dan firasyiah. Pembahasan ini juga meliputi hal yang menyangkut asbabun nuzul dan sebagainya.
v Sanad. Pembahasan ini meliputi hal-hal yang menyangkut sanad yang mutawattir, ahad, syadz, bentuk-bentuk qira’at nabi, para periwayat dan para penghapal Al-Qur’an Al-Qur’an, dan Cara Tahammul (penerimaan riwayat).
v Ada’ al-Qira’ah. Pembahasan ini menyangkut waqof, ibtida’, imalah, madd, takhfif hamzah, idghom.
v Pembahasan yang menyangkut lafadz Al-Qur’an, yaitu tentang gharib, mu,rab, majaz, musytarak, muradif, isti’arah, dan tasybih.
v Pembahasan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum, yaitu ayat yang bermakna Amm dan tetap dalam keumumanya, Amm yang dimaksudkan khusus, Amm yang dikhususkan oleh sunnah, nash, dhahir, mujmal, mufashal, manthuq, mafhum, mutlaq, muqayyad, muhkam, mutasyabih, musykil, nasikh mansukh, muqaddam, mu’akhar, ma’mul pada waktu tertentu, dan ma’mul oleh seorang saja.
v Pembahasan makna Al-Qur’anyang berhubungan dengan lafadz, yaitu fashl, washl, ijaz, ithnab, musawah, dan qashr.

D. Sejarah Perkembangan Ulumul Qur’an
          Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, ulumul Qur’an tidak lahir sekaligus. Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin ilmu melalui proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi pemahamanya.
          Di masa Rasul SAW dan para sahabat, ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul, dan bila menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW.
          Di zaman Khulafa’u Rasyiddin sampai dinasti umayyah wilayah islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa arab, bahkan dikhawatirkan tentang baca’an Al-Qur’an yang menjadi sebuah standar bacaan mereka. Untuk mencegah kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah al-qur’an yang disebut mushaf imam. Dan dari salinan inilah suatu dasar ulumul Qur’an yang disebut Al rasm Al-Utsmani.
         Kemudian, Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuanya pada abad ke-2 H. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai umm al ulum alQur’aniyyah. Para penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj (160 H), Sufyan Ibn Uyaynah (198 H), dan Wali Ibn al-Jarrah (197 H). dan pada abad ke-3 muncul tokoh tafsir yang merupakan mufassir pertama yang membentangkan berbagai pendapat dan mentarjih sebagianya. Beliau adalah Ibn jarir atThabari (310 H). Selanjutnya sampai abad ke-13 ulumul Qur’an terus berkembang pesat dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan buah karyanya untuk terus melengkapi pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Diantara sekian banyak tokoh-tokoh tersebut, Jalaluddin al-bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi’ Al-ulum min Mawaqi’ al-Nujum dipandang Assuyuthi sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap. Sebab, dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an. Jalaluddin al-Syuyuthi (991 H) menulis kitab Al-Tahhir fi Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H. kitab ini memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab ini dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an paling lengkap.namun, Al-Syuyuthi belum merasa puas dengan karya monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an. Didalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan sistematis. Menurut Al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Sampai saat ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih memperhatikan akan ilmu Qur’an ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli Qur’an masih banyak hingga saat ini di seluruh dunia.

A. Pengertian Asbabun Nuzul
          Asbabun Nuzul merupakan bentuk Idhafah dari kata ”Asbab” dan ”Nuzul”. Secara etimologi Asbabun Nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu. Dalam hal ini lebih menekankan pada sebab-sebab turunya ayat-ayat Al-Qur’an.
Banyak pengertian terminologi yang dirumuskan oleh para ulama, diantaranya menurut :
1. Az-Zarqani
          ”Asbabun Nuzul adalah hal yang khusus atau sesuatu yang terjadi serta berhubungan dengan turunnya ayat Al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.”
2. As-Shabuni
          ”Asbabun Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu ayat atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa atau kejadian tesebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.
3. Shubhi Shalih
          Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa, sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi.
         Asbabun Nuzul adalah kejadian yang karenanya diturunkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk menerangkan hukumnya pada hari timbulnya kejadian itu dan suasana yang di dalam suasana itu Al-Qur’an diturunkan serta membicarakan tentang sebab tersebut, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu atau kemudian lantaran suatu hikmah.
          Al-Qur’an terbagi atas dua bagian, yaitu :
1. Sebahagian ayat turun dari Allah tanpa sebab yang khusus, namun semata-mata untuk memberi hidayah kepada makhluk-Nya.
2. Sebahagian ayat turun berkaitan dengan sebab yang khusus. Sebab diturunkan ayat Al-Qur’an ada dua macam, yaitu :
a. Adanya Peristiwa yang Terjadi
          Sebab-sebab ayat dalam peristiwa ada tiga macam yaitu:
 Peristiwa berupa pertengkaran
        Seperti Riwayat yang dikemukakan oleh Al Tsa’laby dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa kaum Nasrani Najran dan kaum Yahudi Madinah mengharap agar nabi sholat menghadap kiblat mereka. Ketika Allah membelokkan kiblat itu ke ka’bah, mereka merasa keberatan, kemudian mereka berusaha agar nabi SAW menyetujui kiblat sesuai dengan agama mereka, maka turunlah ayat :
Artinya :
         Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.(Q.S. Al Imran : 100)
         Ayat tersebut diatas menegaskan bahwa orang-orang yahudi dan orang-orang nasrani tidak akan senang kepada nabi muhamada walaupun keinginan mereka sudah dikabulkan oleh nabi.
 Peristiwa berupa kesalahan yag serius
          Seperti peristiwa orang yang mengimani sholat dalam keadaan mabuk sehingga tersalah membaca surat Al-Kafirun. Ia membaca :
         Dengan tanpa .... pada .... maka maknanya menjadi berbeda. Maknanya akan berubah menjadi aku akan menyembah. Peristiwa ini menyebabkan turunya ayat:
Artinya :
         Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub [301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (Q.S. An Nisa : 43)
 Peristiwa berupa cita-cita dan keinginan.
         Seperti persesuaian-persesuaian (muwafakat) Umar bin Al Khattab dengan ketentuan ayat-atat Al-Qur’an dala sejarah, ada beberapa harapan umar yang dikemukakannya kepada nabi Muhamad SAW. Kemudian turun ayat-ayat yang kandungannya sesuai dengan harapan-harapan Umar tersebut.
Seperti dalam Riwayat Al Bukhari dan lainya meriwayatkan dari Annas r.a. bahwa Umar berkata:”Aku sepakat dengan tuhanku dalam tiga hal, aku katakan kepada Rasul, bagaimana sekiranya kita jadikan makam Ibrahim sebagai tempat sholat, maka turunlah ayat :
ﻭﺍﺗﺧﺫﻮﺍﻣﻦﻤﻘﺎﻢﺍﺑﺭﺍﻫﯿﻡﻤﺼﻠﻲ
         Aku katakan kepada Rasul, sesungguhnya istri-istrimu masuk kepada mereka itu orang yag baik-baik dan yang jahat, maka bagaimanakah sekiranya engkau perintahkan kepada mereka agar bertabir, maka turunlah ayat hijab.
Artinya :
          ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya) [1228], tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu nabi lalu nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih Suci bagi hatimu dan hati mereka. dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. (Q.S. Al Ahzab : 53)
          Dan istri-istri rasul mengerumuninya pada kecemburuan, aku katakan kepada mereka :
ﻋﺴﻲﺭﺑﻪﺍﻦﻁﻠﻘﻜﻦﺍﻦﻳﺑﺪﻠﻪﺍﻦﻭﺍﺟﺎﺧﯿﺭﺍﻤﻧﻜﻥ
         Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu. Maka turunlah ayat yang serupa dengan itu pada Surat Al-Tahrim ayat 5 :
Artinya :
         ”Jika nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.(Q.S. Al-Tahrim : 5)
b. Adanya Pertanyaan
         Adapun sebab-sebab turunya ayat dalam bentuk pertanyaan terbagi tiga yaitu:
 Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang telah lalu
Artinya :
         ”Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya". (Q.S. Al-Kahfi : 83)
 Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung saat itu : Diriwayatkan oleh Bukhari dan Ibnu Mas’ud bahwa Nabi SAW. pada suatu hari berjalan dengan bertongkat disertai ibnu Mas’ud, lewat di depan kaum Yahudi. Salah seorang dari mereka bertanya: ”Terangkanlah kepada kami tentang Ruh ? Nabi sendiri sesaat, dengan mengangkat kepalanya kelangit, beliau terlihat sedang menerima wahyu, lalu nabi membaca:
Artinya :
          ”Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".(Q.S. Al-Isra : 85)
 Pertanyaan yang berhubungan dengan masa yang akan datang.
Seperti :
Artinya :
          ”(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya?”. (Q.S. An-Naziat : 42)
          Kebanyakan ayat-ayat hukum turun dengan di dahului suatu sebab, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan dan sedikit sekali ayat-ayat hukum yang disebut sebab-sebab turunya oleh para Mufasirin. Tentang ayat-ayat yang tidak ada sebab-sebab nuzulnya adalah kebanyakan kisah-kisah umat terdahulu, keadaan ni’mat syurga, adzab neraka dan berita yang akan terjadi seperti surat A- Qari’ah. Namun demikian ada juga kisah yang ada sebab nuzulnya.

B. Urgensi dan Kegunaan Asbabun Nuzul
          Sebahagian orang beranggapan bahwa ilmu Asbabun Nuzul tidak ada gunanya dan tidak ada pengaruhnya karena pembahasannya hanyalah berkisar pada lapangan sejarah dan cerita. Menurut anggapan mereka, Ilmu Asbabun Nuzul tidak mempermudah bagi yang berkecimpung dalam mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an. Anggapan tersebut adalah salah dan tidak patut di dengar karena berdasarkan para ahli tafsir. Adapun faedah dalam mengetahui Asbabun Nuzul adalah :
a. Mangetahui Hukum Allah secara tertentu terhadap apa yang di syari’atkan
b. Menjadi penolong dalam memahami makna ayat dan menghilangkan kemuskilan disekitar ayat itu :
          Ibnu Taimiyah berkata : ”Mengetahui sebab nuzul menolong untuk memahami ayat, sesungguhnya mengetahui sebab manghasilkan pengetahuan tentang yang disebabkan akibat.
         Abul Fath Al Qusyairi berkata: ”Menerangkan sebab Nuzul adalah jalan yang kuat dalam memahami makna-makna Al-Qur’an. Hal itu adalah sesuatu urusan yang diperoleh pada sahabat karena Qarinah-Qarinah yang mengelilingi kejadian-kejadian itu.
Contoh:
          Diantara para sahabat seperti Usman bin Madz’un Amr bin ma’di memperbolehkan khamar. Beliau menggunakan hujjah ayat (Al Maidah : 93)
Artinya :
          ”Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh Karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, Kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, Kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.(Q.S.Al-Maidah : 93)
          Ayat tersebut seandainya tidak di jelaskan sebab Nuzulnya, pasti sampai sekarang kita dibolehkan minum minuman yang memabukan. Surat itu di turunkan karena (menurut riwayat dari Imam Ahmad dari Abu Hurairah) para sahabat menanyakan kepada Rasulullah tentang orang-orang yang gugur dijalan Allah dan yang mati di atas kasur. Padahal mereka meminum arak dan makan makanan hasil judi sedang Allah menetapkan bahwa kedua hal itu termasuk perbuatan keji dan munkar. Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut.
          Dengan melihat kejadian-kejadian di atas maka dapat di simpulkan faedah dari ilmu-ilmu Asbabun Nuzul adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui bentuk hikmah rahasia yang terkandung dalam hukum suatu ayat
b. Menentukan hukum (takhsis) dengan sebab menurut orang yang berpendapat bahwa suatu ibarat dinyatakan berdasarkan khususnya sebab.
c. Menghindarkan prasangka yang menyatakan arti hsyr dalam suatu ayat yang dhahirnya hashr.
d. Mengetahui orang atau kelompok orang yang menjadi kasus turunnya ayat serta memberikan ketegasan bila terdapat keragu-raguan.
e. Dan lain-lain yang hubungannya dengan faedah ilmu Asbabun Nuzul.

C. Cara Mengetahui Riwayat Asbabun Nuzul
          Asbabun Nuzul tidak bisa diketahui semata-mata dengan akal (rasio), melainkan berdasarkan riwayat yang shahih dan di dengar langsung dari orang-orang yang mengetahui turunya Al-Qur’an atau dari orang-orang yang memahami Asbabun Nuzul, lalu mereka menelitinya dengan cermat, baik dari kalangan sahabat, tabi’in atau lainnya dengan catatan pengetahuan mereka diperoleh dari ulama-ulama yang dapat dipercaya.
         Adapun cara mengetahui Asbabun Nuzul berupa riwayat yang shahih adalah:
1. Apabila perawi sendiri menyatakan lafal sebab secara tegas. Dalam hal ini adalah nash yang nyata, seperti kata-kata perawi sebab ayat ini begini ........”
2. Apabila perawi menyatakan riwayatnya dengan memasukan huruf ”Fa Ta’qibiyah” pada kata ”nazala” seperti kata-kata perawi. ﺍﻭﺴﺋﻞﺍﻠﻠﻧﺑﻲﻋﻠﻳﻪﺍﻠﺴﻼﻡﻋﻥﻜﺫﺍﻔﻨﺯﻠﺖ…. ﺤﺩﺚﻜﺬﺍriwayat yang demikian juga merupakan Nas yang sarih dalam sebab nuzul.
          Terkadang ada suatu bentuk ungkapan yang tidak menyatakan sebab nuzul yang tegas seperti kata-kata perawi, ”ﻨﺯﻠﺖﻫﺫﻩﺍﻻﻳﺔﻔﻲﻜﺫﺍ “ kadang-kadang yang dimaksud dengan ungkapan tersebut adalah sebab turun, tetapi kadang-kadang pula menyatakan hukum yang terkandung dalam ayat seperti halnya ”ﻋﻧﻲﺑﻬﺫﻩﺍﻻﻳﺔﻜﺫﺍ “ Az-Zarkasi dalam kitabnya Al burhan mengatakan ”Biasanya tradisi sahabat dan tabi’in bila mengatakan ”ﻨﺯﻠﺖﻫﺫﻩﺍﻻﻳﺔﻔﻲﻜﺫﺍ “ maksudnya adalah bahwa ayat ini mengandung hukum ini ...... bukan menyatakan suatu sebab nuzul . Ibnu Taimiyah menyatakan ”Kata-kata mereka ”ﻨﺯﻠﺖﻫﺫﻩﺍﻻﻳﺔﻔﻲﻜﺫﺍ “ terkadang menyatakan suatu sebab turun terkadang menyatakan kandungan hukum yang sebabnya tidak ada.

D. Macam-Macam Asbabun Nuzul
1. Dilihat dari sudut pandang redaksi yang digunakan dalam riwayat Asbabun Nuzul
           Ada dua jenis redaksi yang digunakan oleh perawi dalam mengungkapkan riwayta Asbabun Nuzul, yaitu sharih (pasti) dan Mumtamilah (kemungkinan)
a. Redaksi Sharih
          Redaksi sharih artinya riwayat yang sudah jelas menunjukan Asbabun Nuzul dan tidak mungkin menunjukan yang lainnya. Redaksi di katakan sharih bila perawi mengatakan : ”... ﺴﺑﺏﻧﺯﻭﻞﻫﺬﻩﺍﻻﻳﺔﻫﺬﺍﺍArtinya : ”Sebab turunya ayat ini adalah.....” atau ia menggunakan kata ”maka” (fa Ta’qabliyah) setelah itu mengatakan peristiwa tertentu. Umpamanya mengatakan : ........ ﻔﻨﺯﻠﺖﺍﻻﻳﺔ....... ﺤﺩﺚﻫﺬﺍ
Artinya: telah terjadi...... maka turunlah ayat ........
          Contoh riwayat Asbabun Nuzul yang menggunakan redaksi sharih adalah riwayat yang di bawakan oleh jabir yang mengatakan bahwa orang-orang yahudi berkata: ”Apabila seorang suami mendatangi ”kubul” istrinya dari belakang, anak yang lahir akan juling”. Maka turunla ayat :
Artinya :
          ”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
          Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri[137] dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci[138]. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
          Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (Q.S.Al-Baqarah : 223)

b. Redaksi Muhtamilah
          Redaksi muhtamilah artinya riwayat yang menyatakan kemungkinan atas terjadinya atau atas turunnya ayat dan bisa saja menunjukan sebab yang lainnya. Adapun redaksi yang termasuk muhtamilah bila perawi mengatakan : ” ﻨﺯﻠﺖﻫﺫﻩﺍﻻﻳﺔﻔﻲﻜﺫﺍ “ Artinya : ”Ayat ini diturunkan berkenaan dengan .....!!
atau perawi mengatakan :
ﺍﺤﺴﺏﻫﺫﻩﺍﻻﻳﺔﻧﺫﻠﺖﻔﻲﻜﺬﺍ
Artinya :
         ”Saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan ini .... !!
         Contohnya : Dalam Riwayat Ibn Umar Yang Menyatakan :
ﻧﺯﻠﺖﻔﻲﺇﺘﻳﺎﻦﺍﻠﻧﺴﺂﺀﻓﻲﺃﺩﺑﺎﺭﻫﻦ
Artinya :
          ”Ayat isteri-isteri kalian adalah (ibarat tanah) tempat bercocok tanam, diturunkan berkenaan dengan mendatangi (menyetubuhi) Isteri dari belakang).
2. Dilihat dari sudut pandang berbilangnya Asbab An-Nuzul untuk satu ayat atau berbilangnya satu ayat untuk satu Asbabun Nuzul.
a. Berbilangnya Asbabun Nuzul untuk satu ayat (Ta’add Ad As-Sabab Wa Nazil Al-Wahid)
          Tidak setiap ayat memiliki beberapa versi riwayat Asbabun Nuzul untuk mengatasi variasi riwayat Asbabun Nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama mengatakan cara sebagai berikut
• Tidak mempermasalahkannya
          Cara ini digunakan apabila variasi riwayat Asbabun Nuzul ini menggunakan redaksi muhtamilah (tidak pasti). Umpamanya, satu versi menggunakan redaksi, ”Ayat ini diturunkan dengan .....”, dan Versi lain menggunakan redaksi, ”Saya kira ayat ini diturunkan berkenaan dengan .....”. Variasi riwayat Asbabun Nuzul ini tidak perlu dipermasalahkan karena yang dimaksud dalam riwayat itu hanyalah tafsir belaka bukan sebagai Asbabun Nuzul
• Mengambil versi riwayat Asbabun Nuzul yang menggunakan redaksi Sharih
          Cara ini digunakan apabila salah satu versi riwayat Asbabun Nuzul itu tidak menggunakan redaksi Sharih (pasti), contohnya apabila ada satu riwayat yang menggunakan redaksi Mumtamilah dan yang satunya lagi menggunakan redaksi Sharih. Maka riwayat Sharihlah yang harus kita gunakan.
• Mengambil versi riwayat yang shahih (valid).
          Cara ini digunakan apabila seluruh riwayat itu menggunakan redaksi sharih (pasti), tetapi kualitas salah satunya tidak shahih, dan untuk riwayat Asbabun Nuzul yang mestinya berkualitas, para ulama mengemukakan langkah-langkah sebagai berikut :
 Mengambil versi riwayat yang shahih
          Cara ini diambil bila kedua versi riwayat tentang Asbabun Nuzul satu ayat, yang salah satu versi berkualitas shahih sedangkan yang lainnya tidak, Maka kita harus mengambil yang shahih dan meninggalkan yang tidak
 Melakukan studi kompromi (Jama’)
          Langkah ini diambil bila kedua riwayat yang kontradiktif itu sama-sama memiliki kesahihan hadist yang sederajat dan tidak mungkin dilakukan Tarjih.
b. Variasi ayat untuk satu sebab (Ta’addud Nazil Wa As-Sabab Al-Wahid)
         Ta’addud Nazil Wa As-Sabab Al-Wahid adalah suatu kejadian yang dapat menjadi sebab bagi turunnya dua ayat atau lebih. Sebagai contoh : Hadist yang ditakhrijkan Ibnu Jarir Ath Thabary dan Ibnu Mardawaih dari Ibnu Abbas berkata : Nabi SAW berteduh dibawah sebuah pohon, beliau bersabda kepada orang-orang yang di sekelilingnya akan datang kepada kalian seorang yang berpandangan seperti pandangan syaithan. Tidak lama kemudian muncullah seorang laki-laki yang bermata biru. Mereka dipanggil oleh Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah SAW bersabda : Mengapa kamu dan teman-temanmu mencaci maki aku? Maka orang itu pergi dan datang lagi membawa teman-temannya lalu mereka bersumpah atas nama Allah dan memungkirinya, sehingga Rasulullah memaafkannya. Maka turunlah surat :
Artinya :
          ”Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka Telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan Telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya[650], dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali Karena Allah dan rasul-Nya Telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi. (Q.S. At-Taubah : 74.)
          Dan Al-Hakim meriwayatkan Hadist ini dengan membawakan Lafadz diatas dan mengatakan : Maka Allah Menurunkan :
Artinya :
          ”(Ingatlah) hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Alla) lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan musyrikin) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu; dan mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh suatu (manfaat). Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta.
          Syaitan Telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka Itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya golongan syaitan Itulah golongan yang merugi. (Q.S.Al-Mujadalah : 18-19)

E. Kaidah Al-Ibrah
          Kaidah ini berbicara tentang suatu pembahasan Asbabun Nuzul mengenai redaksinya. Misalkan telah terjadi satu pertanyaan, kemudian satu ayat turun untuk memberikan penjelasan atau jawabannya. Tetapi ungkapan tersebut menggunakan redaksi umum hingga mempunyai cakapan yang lebih luas.
Jumhur ulama berpendapat suatu ibarat itu harus dipandang dari segi umumnya lafal bukan dari khususnya sebab. Inilah pendapat yang shahih. Akan tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa suatu ibarat harus dipandang dari segi khususnya sebab.
          Imam-Suyuti dalam kitabnya Al Itqan Fi Ulumil Qur’an mengatakan,”diantara alasan yang menunjukan suatu ibarat itu harus dipandang dari umumnya lafal adalah diambil dari para sahabat lainnya. Yang dalam beberapa kasus diterapkan berdasarkan umumnya suatu lafal padahal kasusnya karena persoalan khusus.
Contohnya : Turunnya ayat Zihar dalam kasus sanah Ibnu Shahar, ayat Li’an dalam perkara Hilal Ibnu Umaimah, dan ayat Qazaf dalam perkara tuduhan terhadap Aisyah. Peristiwa lain berdasarkan umumnya lafal. Ibnu Abbas menerangkan kata-kata demikian dalam ayat pencurian, dimana ayat tersebut, turun sehubungan dengan kasus wanita yang mencuri....., kemudian diriwatkan pula dari najdah Al-Hanafi, ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang firman Allah : (Al-Maidah : 38).
Artinya :
          ”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S.Al-Maidah : 38).
          Apakah ayat tersebut untuk kasus atau berlaku untuk umum? Ia menjawab,”Untuk Umum.”
Dari sini kita dapat mengetahui bahwa pendapat seperti itu memaksudkan bahwa hukum ayat semata-mata kasus untuk orang-orang tertentu dan tidak berlaku untuk yang lainnya.
          Zamakhsyari dalam surat Al-Humazah mengemukakan, ”Boleh jadi redaksional dalam sebab bentuknya Khusus, sedangkan dalam ancaman bentuknya umum, dengan maksud agar mencakup semua orang yang berbuat kejahatan. Hal ini ditunjukan sebagai sindiran.

BAB III
KESIMPULAN

          Asbabun Nuzul adalah sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an baik yang berhubungan dengan pertanyaan yang diajukan kepada nabi ataukah kejadian yang berhubungan dengan urusan agama.
Al-Qur’an diturunkan dalam dua bagian tentu ada sebagian ayat yang turun dari Allah tanpa sebab khusus, namun semata-mata untuk memberikan hidayah kepada makhluknya. Dan ada sebagian ayat yang turun berkaitan dengan sebab khusus baik itu karena peristiwa yang terjadi pada saat itu ataukah pertanyaan yang diajukan kepada Nabi SAW.
          Kebanyakan ayat-ayat hukum turun dengan didahului sebab akan tetapi hanya sedikit sekali ayat-ayat hukum yang disebut sebab-sebab hukum oleh para mufasirin. Ayat-ayat yang tidak ada sebabnya kebanyakan berbicara atau menyangkut tentang kisah-kisah umat terdahulu, keadaan nikmat syurga, adzab neraka dan berita yang akan terjadi dimasa akan datang.
          Ilmu Asbabun Nuzul ini sangat bermanfaat untuk mengetahui bentuk hikmah rahasia yang terkandung dalam hukum suatu ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA

• Ali Ash Shaa Buuniy Muhammad, Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Setia,cet.1,Bandung 1999
• Anwar Rasibon,Ulumul Qur’an, Pustaka Setia, Cet I, Bandung 2000.
• Ya Dali Ahmad, Rofi’i Ahmad,Ulumul Qur’an 1. Pustaka Setia,cet.II, Bandung 2000
• Hasbi Ash Shddieqy Muhammad, Ilmu-ilmu Al-Qur’an,PT Pustaka Rizki Putra, cet.II, Edisi 2, Semarang 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar