Sabtu, 06 November 2010

TAUHID SOSIAL

BAB I
KONSEPSI TAUHID SOSIAL

          Sebelum membahas mengenai konsepsi Tauhid Sosial, ada beberapa hal yang harus dimengerti, yaitu sebagai berikut :

1. Pengertian Tauhid
          Tauhid berasal dari kata ﺍﺤﺩ yang artinya ”satu”. Sedangkan kata Tauhid (ﺘﻭﺤﺩ ) artinya ”menyatukan”. Muhammad Nafis Al-Banjari dalam kitabnya Ad Durunnafis mengatakan bahwa Tauhid adalah menyatukan segala pandangan hanya kepada zat yang satu, yaitu Allah Azza Wazalla. Jadi, orang yang bertauhid adalah orang yang dalam kesehariannya hanya memliki satu titik pandang, yaitu Allah SWT. Setiap perbuatan dan tingkah lakunya selalu diiringi dengan niat lillahita’ala. Satu niat, satu pandangan, satu tujuan, satu tempat bersandar. Sehingga dalam hidup dan kehidupannya tidak terlepas dari ruang lingkup kekuasaan Allah. Para ahli Tauhid dan para Arifbillah mengatakan bahwa orang yang bertauhid adalah orang yang selalu menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah. Karena Dia-lah tempat bersandar segala sesuatu. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Ikhlas :
          Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS. Al-Ikhlas (112): 1-4)
          Sebelum seseorang beribadah atau menyembah Allah, yang pertama dan utama yang harus dimiliki adalah pengenalan terhadap siapa yang akan di sembah. Pengenalan ini akan terwujud melalui jalan bertauhid kepada Allah SWT. Di dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman :
          Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al-Kahfi (18) : 110)
          Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa dalam beribadah kepada Allah, tidak boleh mempersekutukan-Nya. Dengan kata lain, syarat utama bagi seseorang dalam beribadah kepada Allah adalah dengan bertauhid kepada-Nya. Dalam suatu hadits qudsi Allah SWT berfirman :
ﺃﻨﺎﺃﻏﻨﻰﺍﻟﺸﺭﻜﺂﺀﻋﻥﺍﻟﺸﺭﻙﻔﻤﻥﻋﻤﻝﻟﻲﻋﻤﻼﺍﺸﺭﻙﻔﻴﻪﻏﻴﺭﻔﺎﻨﺎﻤﻨﻪﺒﺭﻱﻭﻬﻭﻟﻟﺫﻯﺃﺸﺭﻙ
          ”Aku paling tidak membutuhkan sekutu, maka barang siapa melakukan sesuatu amal dengan menyekutukan sesuatu kepada-Ku putuslah hubungan-Ku dengan dia dan terserahlah dia kepada yang disekutukan itu” (H.Q.R. Muslim)
          Adapun lawan dari tauhid adalah syirik, sebagaimana yang terdapat pada surat Al-Kahfi ayat 110 dan Hadits Qudsi diatas yaitu kalimat ﺸﺭﻙ (syirik) yang artinya ”mempersekutukan”. Di dalam Islam dosa besar yang tidak diampuni Allah adalah Syirik. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
          Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. An-Nissa (4) : 48)
          Oleh sebab itu, para Ahli Tauhid dan para Arifbillah sangat berhati-hati dalam melakukan ibadah kepada Allah. Kadangkala mereka harus mengulang-ulang takbirnya dikarenakan takut akan perbuatan syirik. Apalagi dalam beribadah kepada Tuhannya.

2. Pengertian Sosial
          Sosial berasal dari bahasa yunani ”Socius” yang berarti ”teman”. Dalam perkembangan sosial diartikan sebagai hubungan manusia dalam hidup bermasyarakat sesuai dengan kedudukan dan peran masing-masing. Dalam proses sosial, ada yang disebut tindakan sosial dan interaksi sosial. Tindakan sosial adalah perbuatan atau aktifitas manusia yang dilakukan dengan berorientasi pada atau dipengaruhi orang lain. Sedangkan interaksi sosial adalah hubungan yang dinamis antara individu dan individu, individu dengan kelompok, kelompok dan kelompok dalam bentuk cooperation atau kerja sama, persaingan ataupun pertikaian. Adapun hubungan antara tindakan dan interaksi sosial yaitu, tindakan sosial merupakan syarat bagi terbentuknya interaksi sosial, bila interaksi sosial terjadi maka secara otomatis tindakan sosial sudah terjadi.

3. Makna Sosial Dalam Islam
          Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, bahwa sosial merupakan hubungan antara sesama manusia. Hubungan ada dua macam, yaitu hubungan yang baik dan hubungan yang buruk. Dalam Islam, sosial dikenal dengan hubungan yang baik antar sesama manusia. Hubungan yang baik dan harmonis antar sesama manusia sangat dianjurkan dalam syari’at Islam. Hal ini dapat dilihat dari dalil-dalil berikut ini :
          Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Imran (3) : 104)
          Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (QS. An-Nissa (4) : 36)
          ”Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah saw bersabda :”Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka tidak boleh menyakiti tetangganya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka harus memuliakan tamunya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya mengatakan yang baik atau diam”. (Muttafaq ’Alaihi).
          Allah dan Rasul telah memerintahkan untuk berbuat baik terhadap sesama manusia, berhubungan baik serta menghormati antara satu dengan yang lain. Inilah yang disebut dengan ”Hablum Minannas” (hubungan yang baik antar sesama manusia). Hal ini telah dimaktubkan di dalam sumber hukum Islam. Yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.

BAB II
TAUHID SOSIAL

          Yang dimaksud dengan Tauhid Sosial adalah memanifestasikan nilai-nilai yang terkandung dalam tauhid dalam kehidupan masyarakat. Ketika seorang yang bertauhid meyakini bahwa Allah itu Maha Melihat, maka dia tidak akan melakukan perbuatan atau tindakan yang akan melukai atau menyakiti orang lain. Walaupun dia berada ditempat yang tersembunyi. Dia tidak akan mencuri atau mengambil barang milik orang lain. Walaupun tidak ada orang yang melihatnya karena dia yakin bahwasanya ada yang Maha Melihat.
          Ketika seorang yang bertauhid meyakini bahwa Allah itu Maha Mendengar, maka dia tidak akan melakukan perbuatan ghibah atau mencela, mencaci maki ataupun menggunjing dan membuka aib orang lain, walaupun pembicaraannya itu hanya didalam hati, karena dia yakin bahwasanya ada yang Maha Mendengar.
          Orang yang meyakini akan ketauhidan Ilahi adalah orang yang mampu berjalan menghadapi kehidupan dengan penuh keberanian dan percaya diri. Tidak ada satupun yang dia takuti kecuali hanya Allah. Pemahaman yang mendalam tentang Tauhid akan menciptakan kepribadian Muslim yang sangat tanggap dan terbebas dari segala ambisi yang akan membutakan dirinya dari kebenaran. Tauhid melahirkan pula ”kesadaran diri” (self awarnnes) yang sangat kuat sehingga dia mampu mengendalikan diri secara proporsional, dan mampu melakukan pilihan-pilihan dengan memakai tolak ukur kebenaran yang diyakininya. Dia sadar bahwa setiap keputusan akan membawa konsekuensi pertanggung jawaban, tidak hanya di akhirat, bahkan sejak di dunia pun dia harus mempertanggungjawabkan segala sikap dan prilakunya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
          Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Isra’ (17) : 36)
          Manusia mempunyai fitrah sebagai subjek (khalifah fil ardhi), sehingga dia tidak boleh melawan fitrahnya sendiri unruk menjadi objek benda lain selain Allah. Dia rela membuka mata batinnya untuk menjadi budak Allah. Hanya kepada-Nya lah dirinya menghambakan diri. Pada saat dia mengatakan iyyaaka na’budu, ada semacam gelora untuk mengerahkan seluruh potensi dirinya untuk membuktikan pelayanannya kepada Allah sehingga bukti dari iyyaaka na’budu tersebut tampaklah bahwa dirinya menjadi sangat proaktif untuk melayani. Dia layani ciptaan Allah karena Rasulullah saw bersabda ” sayangilah yang dibumi maka engkau akan disayangi oleh yang dilangit”.
          Semangat iyyaaka na’budu menjadi motifasi besar di dalam hatinya untuk melayani, mengembangkan dan memberikan kepuasan bagi seluruh makhluk. Bagi seorang Muslim, siapapun diluar dirinya adalah customer yang harus diberikan pelayanan. Dia sadar bahwa dengan melayani itulah dia akan mendapatkan kasih sayang dari Allah.
          Orang yang bertauhid kepada Allah, akan selalu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Apa yang menjadi milik Allah akan dijaga dan dipelihara dengan baik termasuk sesama manusia dan alam sekitar. Dengan sesama manusia, dia akan senantiasa menebarkan benih-benih kebajikan. Tidak pandang usia. Baik muda maupun tua. Di dalam Al Qur’an Allah berfirman :
          Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar. (QS. Al-Imran (3) : 110)
          Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (QS. An-Nissa (4) : 36)
        Dari surat An Nissa ayat 36 diatas, pada permulaan ayat, Allah memerintahkan untuk tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu. Dalam hal ini Allah memerintahkan kepada kita untuk bertauhid kepada-Nya. Setelah itu baru dilanjutkan dengan perintah berbuat baik kepada orang tua Ibu-Bapak, Karib-Kerabat, Anak-anak yatim, Orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, orang yang sedang dalam perjalanan (Ibnu Sabil), dan hamba sahaya. Hal ini merupakan konsekuensi dari orang yang bertauhid sekaligus manifestasi dari nilai-nilai yang terkandung dalam tauhid itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI,1990
 An-Nawawi, Imam. ”Terjemahan Riyadhush Shalihin”. Bening Publising. Jakarta; 2005.
 Qur’an-Hadits kelas dua Aliyah. Departemen Agama RI, 1994
 Al-Maraghi, Musthafa, ”Tafsir Al-Maraghi Jilid 4”, CV. Toha Putra, Semarang, 1993
 Toto Tasmara, K.H. ”Membudayakan Etos Kerja Islami”, Gema Insan. Jakarta, 2002
 Haderanie H.N, K.H., ”Permata Yang Indah”, Nur Ilmu, Surabaya.

1 komentar: