Minggu, 07 November 2010

USHUL FIQH

 IJ'TIHAD

BAB I
PENDAHULUAN

           Bagi setiap muslim, segala apa yang dilakukan dalam kehidupannya harus sesuai dengan kehendak Allah, sebagai realisasi dari keimanan kepada-Nya kehendak Allah tersebut dapat ditemukan dalam kumpulan wahyu yang disampaikan melalui Nabi-Nya (Al Qur’an) dan penjelasan yang diberikan oleh Nabi tersebut (As Sunnah).
          Kehendak atau titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan manusia, dikalangan ahli ushul disebut “hukum Syara’”, sedangkan bagi kalangan ahli fiqh,”hukum syara” adalah pengaruh titah Allah terhadap perbuatan manusia tersebut.
         Seluruh kehendak oleh Allah tentang perbuatan manusia itu pada dasarnya terdapat dalam Al Qur’an dan penjelasannya dalam Sunnah Nabi. Tidak ada yang luput satupun dari Al Qur’an namun Al Qur’an itu bukanlah kitab hukum dalam pengertian ahli fiqh karena di dalamnya hanya terkandung titah dalam bentuk suruhan dan larangan atau ungkapan lain yang bersamaan dengan itu, dengan istilah lain, Al Qur’an itu mengandung norma hukum. Untuk memfdormulasikan titah Allah itu ke dalam bentuk hukum syara’ (menurut istilah ahli fiqh) diperlukan suatu usaha pemahaman dan penelusuran.
          Dari sini kita dapat mengambil sedikit permasalahan seperti :
1. Apa Pengertian, syarat dan tingkatan Mujtahid ?
2. Apa fungsi dari Ijtihad ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad menurut etimologi adalah Ijtihad diambil dari akar kata bahasa Arab “jahada” (ﺠﻬﺩ). Bentuk mashdarnya ada dua bentuk yang berbeda artinya :
a. Jahdun dengan arti yang kesungguhan atau sepenuh hati atau serius.
Contohnya dapat kita temukan dalam surat Al An’am (6):109: “Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan”
b. Jahdun dengan arti kesanggupan atau kemampuan yang di dalamnya terkandung arti sulit, berat dan susah. Contohnya, firman Allah dalam surat at Taubah (9): 79: “dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu menghina mereka”.

2. Ijtihad menurut taerminologi atau istilah Teknis Hukum adalah :
a. Imam Al Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-fuhuli memberikan pengertian bahwa ijtihad adalah usaha yang ditempuh denngan sepenuh hati dan sungguh-sungguh yang merupakan bentuk usaha yang tidak bersifat aqli, luqhawi dan bissi. Penggerahan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amalia melalui cara istinbath.
b. Ibnu Subki memberikan definisi bahwa ijtihad adalah penggerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan yang kuat tentang hukum syar’i.
c. Saifuddin Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam, menyempurnakan dua definisi sebelumnya dengan penambahan kata, ijtihad adalah penggerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk dan dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu.
Dengan menganalisa ketiga definisi di atas dan membandingkannya dapat diambil hakikat ijtihad itu sebagai berikut:
a. Ijtihad adalah penggerahan daya nalar secara maksimal
b. Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu dibidang keilmuan yang disebut faqih.
c. Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’yang bersifat amaliah.
d. Uasaha ijtihad ditempu dengan cara-cara istinbath.

B. Hukum Berijtihad
          Yang dimaksud dengan hukum berijtihad disini ialah hukum dari orang yang melakukan ijtihad, baik dari tujuan hukum taklifi, maupun hukum wadh’i. karena yang berwenang melakukan ijtihad itu adalah orang yang telah mencapai tingkatan faqih, maka mahkum’alaihnya (objek atau orang yang dikenai oleh hukum) disini adalah orang yang faqih.
         Membicarakan hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari dua segi. Pertama, dari segi hasil ijtihadnya, itu adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri, seperti menentukan arah kiblat pada waktu akan melakukan sholat. Kedua, dari segi bahwa mujtahid itu adalah orang mufti yang fatwanya akan diamalkan oleh umat atau pengikutnya.
        Selanjutnya hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari segi prinsip umum dalam menetapkan hukum, tanpa memandang kepada keadaan dan kondisi apapun atau dengan melihat pada kondisi tertentu.
Secara umum hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yang syara’ sendiri tidak menetapkannya Secara jelas dipahami dari firman Allah dalam Al Qur’an Surah Al-Hasyr(59): 2 :

         “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama[1463]. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”( Al-Hasyr(59): 2)
          Surah An-Nisa’ (4): 9.

         “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”

C. Unsur Pokok Dalam Ijtihad
         Dari gambaran umum diatas terlihat bahwa ijtihad itu adalah kegiatan orang yang memenuhi syarat tertentu dengan melakukan penggalian terhadap hukum Allah dari petunjuk atau dalil tertentu dan merumuskannya dalam bentuk hukum tertentu. Dari sini tampak bahwa unsur pokok dalam berijtihad adalah 1) orang yang melakakukan ijtihad yang disebut “mujtahid”, 2) dugaan yang kuat tentang hukum adalah yang terdapat dalam penunjuk yang menjadi sasaran ijtihad, yang disebut “mujtahad”. Pembicaraan tentang syarat-syarat berijtihad meliputi kedua unsur pokok tersebut.
1 Pengertian Mujtahid.
         Mujtahid adalah orang yang memiliki syarat ijtihad yang sempurna, mempunyai kemampuan untuk mengistinbathkan hukum-hukum amaliyah dari dalil-dalil syar’i.
2. Syarat-Syarat Mujtahid
         Dalam literature ushul fiqh terlihat bahwa para ahli ushul memberikan rumusan yang berbeda tentang syarat mujtahid. Perbedaan rumusan itu banyak ditentukan oleh titik pandang yang berbeda oleh mujtahid. Dari rumusan yang berbeda itu terlihat ada kesamaan diantara mereka dalam memandang dua titik pada seorang mujtahid itu, yaitu tentang kepribadiannya dan tentang kemampuannya. Untuk kedua hal tersebut para ahli menetapkan syarat atau kriteria tertentu yang tanpa syarat dan kriteria itu seseorang tidak akan dapat melakukan ijtihad, dan kalaupun ia melakukan ijtihad maka hasilnya diragukan kebenarannya.
1. Syarat yang berhubungan dengan kepribadian
        Syarat kepribadian ini menyangkut dua hal :
a. Syarat umum yang harus dimilki seorang mujtahid adalah telah baliq dan berakal.
b. Syarat kepribadian khusus yang berupa keimanan.

2. Syarat yang berhubungan dengan kemampuan atau yang disebut dengan syarat Mujtahid Mutlak , ialah;
a. Mengetahui dengan sempurna hukum Al Qur’an dan hukum As-Sunnah, dasar-dasar sariat yang umum. Dia harus mengetahui ayat-ayat hukum dan hadits-hadits hukum, mengetahui sebab nuzul, sebab-sebab wurud, sah tidaknya hadits hadits, nasikh mansukh, mutawatir dan masyhur. Dalam hal ini dia cukup mengetahui tempat memperoleh dalil-dalil itu, Asy Syafi’I mengharuskan Mujtahid menghfal seluruh Al Qur’an.
b. Mengetahui hukum-hukum yang telah diijma’i dan yang diperselisihkan.
c. Mengetahui illat-illat hukum dan jalan-jalan menggalinya dari dalil serta petunjuk lafad kepada makna dan mengetahui maksud-maksud syara’, rahasia tasry’, maslahah-maslahah dan uruf masyarakat.
d. Mengetahui bahasa Arab sekedar yang perlu untuk mengetahui Nash. Selain dari itu hendaklah mujtahid orang yang adil, melaksanakan sendiri hukum-hukum yang diijtihadkannya sendiri. Dan sebagian ulama menambah pula supaya mujtahid itu seorang Islam.

3. Tingkatan Mujtahid
          Ibnu Qayyim membagi para mujtahid dalam empat tingkat ;
a. Mujtahid yang mengetahui kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan pendapat-pendapat sahabat. Dialah mujtahid untuk menetapkan hukum dalam segala rupa kejadian.
b. Mujtahid yang terikat dalam madzhab iman yang diikutinya. Dia mujtahid dalam mengetahui fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat pada umumnya., serta dapat mentakhrijkan hukum dari pendapat umumnya., serta dapat mengqiyaskan sesuatu atas hukum-hukum yang diberikan oleh imamnya, baik dalam bidang hukum maupun dalam bidang dalil, seperti Abi Yusuf, Muhammad dan Zufar dalam madzhab Hanafi, Al Muzani, dalam madzhab Asy safi’i, asyhab dan ibnu Abdil Hakam dalam Mazdhab Maliki, Abu Hamid dalam Madzhab Hanbali.
c. Mujtahid dalam madzhab imam yang diikuti berusaha mengkuatkan madzhab dengan dalil dan mengetahui dengan baik fatwa-fatwa imamnya. Dia tidak melampaui imam dan tidak pula disalahinya. Inilah kebanyakan sifat pengarang-pengarang kitab fiqh.
d. Orang yang mempelajari suatu madzhab, mahrajnya, fatwa-fatwanya dan segala macam cabang hukum-hukumnya serta mengaku dirinya Muqallid.
Ibnu abidin membagi para fuqaha kepada :
a. Mujtahid fisy Syar’i seperti para imam
b. Mujtahid fil madjhab, seperti Ashhab Abu Hanifah, Ashhab Asy Syafi’i
c. Mujtahid fi takrij seperti Al Jashshah
d. Ashhabut tarjih seperti Al Qaduri
e. Ashhabut tamyiz bainadl dla’if wal qawi yaitu ulama abad ke enam hijriyah
f. Ashhabut takrij seperti Ath Thahawi
g. Ashhabut taqlid ash shirf
Abu Zahra membagi mujtahid dalam beberapa tingkatan yaitu :
a. Mujtahid dalam hukum Syara’
b. Mujtahid Muntasib
c. Mujtahid Madzhab
d. Mujtahid Murajjih
e. Mujtahid Muwazzin
f. Golongan Huffaz
g. golongan Maqallid

D. Pembagian dan macam-macam Ijtihad
          Bila kita telusuri literature ushul fiqh, maka pembahasan tentang pembagian dan macam-macam ijtihad, terdapat bentuk pembahasan yang berbeda. Ada yang tidak memisahkan antara keduanya. Namun ada yang membahas kedua masalah itu secara terpisah, masing-masing dibahas tersendiri secara luas dan mendalam. Karena kedua masalah tersebut berkaitan erat.
1. Pembagian Ijtihad
         Ada beberapa pembagian ijtihad, di antaranya :
a. Ijtihad Muthlaq
         yaitu ijtihad yang melingkupi semua masalah hukum, tidak memilah-milahnya dalam bentuk bagian-bagian masalah hukum tertentu atau bias disebut dengan ijtihad paripurna. Ulama yang mempunyai kemampuan dalam ijtihad mutlak ini disebut Mujtahid Mutlak yaitu seorang fakih yang mempunyai kemampuan mengistimbathkan seluruh bidang hukum dari dalil-dalilnya atau mempunyai kemampuan mengistimbathkan hukum dari sumber-sumber hukum yang diakui secara syar’i dan aqli.
b. Ijtihad Juz’i (Ijtihad Parsial)
         yang merupakan kajian mendalam tentang bagian tertentu dari hukum dan tidak mendalami bagian yang lain. Pelaku mujtahidnya disebut mujtahid Juz’i atau mujtahid spesialis yaitu faqih yang mempunyai kemampuan mengistimbathkan sebagian tertentu dari hukum syara’ dan sumbernya yang Mu’tabar tanpa kemampuan mengistimbathkan semua hukum.

3. Macam-Macam Ijtihad
         Dalam menetapkan macam-macam ijtihad para ahli membagi ijtihad dengan melihat kepada beberapa titik pandang yang berbeda :
a. Karya ijtihad dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman, ada tiga macam yaitu ijtihad Bayani, ijtihad qiyasi, ijtihad istilahi.
b. Al Syatibi dalam kitabnya Al muwafaqat melihat ijtihad dari segi mungkin atau tidak mungkin terhenti kegiatannya. Dalam hal ini ia membagi ijtihad dalam dua macam yaitu ijtihad yang tidak mungkin terhenti kegiatannya dan ijtihad yang mungkin terhenti kegiatannya.
c. Dari segi hasil yang dicapai melalui ijtihad, Al-Syatibi membagi ijtihad itu kepada dua bentuk yaitu ijtihad Muta’bar dan ijtihad Ghairu muta’bar.
d. Al Mawardi (dari penukilan Al-Syaukani) membagi ijtihad dari sudut kegiatan dengan cara yang digunakan. Menurut titik pandang ini, ijtihad itu ada delapan macam yaitu :
- Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari makna tujuan yang terdapat dalam nash
- Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari kemiripan yang terdapat dalam nash
- Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari keumuman lafaz nash,
- Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari kumpulan nash
- Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari keadan-keadaan yang terdapat dalam nash
- Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari dalil (petunjuk yang kuat) dalam nash.
- Ijtihat yang kegiatannya mengeluarkan hukum dari ‘amarat (petunjuk yang kurang kuat) dalam nash.
- Ijtihad yang kegiatannya mengeluarkan hukum bukan dari nash juga bukan dari prinsip nash.
e. Macam ijtihad dari segi pelaksanaannya atau dari segi siapa yang terlibat langsung dalam melakukan penggalian dan penemuan hukum untuk kasus tertentu. Dalam hal ini mengandung kemungkinan bahwa yang melakukan ijtihad dapat lebih dari satu orang. Hal ini timbul mengingat kejadian yang padannya itu berlaku hukum sudah begitu berkembang sehingga tidak dapat lagi dipecahkan masalahnya hanya dari satu titik pandang dan dikaji hanya dari satu disiplin ilmu. Dilihat dari segi ni ijtihad itu ada dua macam yaitu Ijtihad farIdi atau Ijtihad perorangan dan Ijtihad jama’i atau Ijtihad kolektif.

E. Fungsi Ijtihad
         Ijtihad dapat mengarahkan daya nalar secara maksimal dan menghasilkan dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amalia.

BAB III
PENUTUP

          Mujtahid adalah orang yang memiliki syarat ijtihad yang sempurna, mempunyai kemampuan untuk mengistinbathkan hukum-hukum amaliyah dari dalil-dalil syar’i. Syarat Mujtahid terbagi dua yaitu syarat yang berhubungan dengan kepribadian dan syarat yang berhubungan dengan kemampuan atau yang disebut dengan syarat Mujtahid Mutlak. Tingkatan Mujtahid menurut Ibnu Qayyim adalah mujtahid yang mengetahui kitabullah, Mujtahid yang terikat dalam madzhab iman yang diikutinya, Mujtahid dalam madzhab imam yang diikuti berusaha mengkuatkan madzhab dengan dalil dan mengetahui dengan baik fatwa-fatwa imamnya. Dia tidak melampaui imam dan tidak pula disalahinya. Inilah kebanyakan sifat pengarang-pengarang kitab fiqh, orang yang mempelajari suatu madzhab, mahrajnya, fatwa-fatwanya dan segala macam cabang hukum-hukumnya serta mengaku dirinya Muqallid.
         Dan fungsi dari Ijtihad adalah Ijtihad dapat mengarahkan daya nalar secara maksimal dan menghasilkan dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amal.

DAFTAR PUSTAKA

 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2,(Jakarta, PT.Logos Wacana Ilmu,2001).
 Muhammad Teungku, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang, PT.Pustaka Rizki Putra, 1999).
 Suyuti Imam, Kontekstual Keharusn Berijtihad, (Semarang, PT.Karya Toha Putra, 1999)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar